Powered By Blogger

Jumat, 01 April 2011

Proposal

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ternak kerbau mempunyai peran dan fungsi strategis bagi sebagian masyarakat Sumatera Barat dan sejak lama ternak ini tersebar secara luas walaupun tidak merata. Kerbau rawa merupakan salah satu ternak ruminansia yang berkembang di Sumbar yang patut untuk dijaga kelestarian dan produktifitasnya. Ternak kerbau merupakan ternak penghasil daging, susu, dan tenaga kerja, sehingga ternak kerbau disebut juga sebagai hewan triguna. Hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan dan ditingkatkan produktifitasnya.

Salah satu jenis ternak kerbau yang sering dijumpai dan sudah banyak dikenal dipedesaan adalah kerbau lumpur ( swamp Bufallo). Kerbau lumpur ini banyak dipelihara para peternak di Nagari Pematang Panjang dengan pola pemeliharaan masih secara tradisional. Selama 8 (delapan) tahun terakhir, perkembanngan ternak kerbau di Indonesia kurang menggembirakan. Salah satu penyebab rendahnya populasi ternak kerbau disebabkan oleh keterbatasan bibit unggul, mutu pakan ternak rendah, perkawinan silang dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut.(Kepment Pertanian, 2006).

Usaha untuk meningkatkan produksi ternak kerbau sebagai protein hewani berbagai program perlu dilaksanakan antara lain : peningkatan mutu genetik ternak, pemberian feed supplement. Di antara beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produksi ternak kerbau yang perlu diperhatikan yaitu bobot lahir anak kerbau. Bobot lahir dapat mencerminkan keadaan induknya ,di mana umur induk atau paritas mempunyai hubungan positif terhadap bobot lahir anak (Djagra.,K.Lana dan K.Sulandra 1977). Bobot lahir erat kaitannya terhadap pertumbuhan anak yang akan mempengaruhi perkembangan reproduksinya. Beberapa hasil penelititan menunjukkan bahwa bobot lahir anak jantan lebih besar dari bobot lahir anak betina.

Paritas induk adalah urutan keberapa kali melahirkan (paritas) mempengaruhi bobot lahir anak (Triwulaningsih, 1987). Korelasi antara paritas dengan bobot lahir anak identik dengan umur induk terhadap berat lahir anak (Preston dan Willis, 1974). Sutan (1988) menyatakan, bahwa umur induk dan paritas berpengaruh terhadap bobot lahir anak.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, terlihat suatu kecenderungan bahwa para peternak biasanya kurang memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil usahanya. Hal ini terutama menyangkut bobot lahir anak kerbau dan paritas induk. Padahal berat induk maupun paritas induk berpengaruh terhadap berat lahir anak yang dilahirkan.

Dari uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “ HUBUNGAN PARITAS INDUK DENGAN BOBOT LAHIR ANAK PADA KERBAU DI NAGARI PEMATANG PANJANG”

1.2. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui sejauh mana hubungan paritas dengan bobot lahir anak kerbau di Nagari Pematang Panjang.

1.3. Hipotesis Penelitian

Paritas induk memiliki hubungan yang erat terhadap bobot lahir anak kerbau di Nagari Pematang Panjang.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Ternak Kerbau

Menurut Susilorini, Sawitri, dan Muharlien (2008) kerbau merupakan hewan asli Afrika dan Asia, termasuk salah satu hewan liar/primitive dari famili Bovidae. Ciri khas kerbau adalah sungutnya yang agak panjang, bertulang besar, dan agak kompak, kuping besar, kaki-kaki kuat dan pendek dengan kuku-kuku besar, bulu jarang, tidak mempunyai punuk dan gelambir, serta bertanduk padat mengarah kebelakang.

Di dunia, 95% dari kerbau terdapat di Asia. Banyak Negara-negara di Asia yang bergantung pada spesies ini, baik untuk daging, susu, atau tenaga kerjanya. Kadar lemak susu kerbau sangat tinggi. Kerbau diperkenalkan di Afrika Utara dan Timur Tengah pada sekitar tahun 600 Masehi. Selanjutnya kerbau dibawa ke Eropa. Saat ini, kerbau di Eropa bisa ditemukan di Bulgaria dan Italia. Seperti di Asia, kerbau di Eropa juga hiup di lapangan terbuka yang vegetasinya jarang (Susilorini, dkk 2008).

Kerbau liar atau disebut juga Arni masih dapat ditemukan di daerah-daerah Pakistan, India, Bangladesh, Nepal, Bhutan, Vietnam, China, Filipina, Taiwan, Indonesia, dan Thailand. Kerbau ini memilki tanduk yang sangat besar dengan panjang rata-rata 1 m (Susilorini, dkk 2008).

Adapun klasifikasi ilmmiah kerbau sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Artiodactyla

Famili : Bovidae

Subfamili : Bovinae

Genus : Bubalus

Spesies : B. bubalis

Dari empat spesies kerbau, hanya satu yang dapat menjadi jinak, yaitu dari spesies Bubalus arnee. Menurut sejarah perkembangan domestikasi, ternak kerbau yang berkembang di seluruh dunia berasal dari daerah sekitar India. Diduga kerbau telah lama dibawa ke Jawa, yaitu pada saat perpindahan nenek moyang kita dari India Belakang ke Jawa pada tahun 1.000 SM (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).

Kerbau yang begitu lama berkembang dan di dipelihara pada suatu agroekosistem yang spesifik telah terseleksi secara ilmiah dan menghasilkan tipe kerbau yang berkarakter spesifik. Kerbau berkembang di daerah dengan agroekosistem yang bervariasi seperti padang penggembalaan dengan iklim kering di NTB, NTT; di daerah pesawahan irigasi maupun non irigasi; di daerah pegunungan dan dataran rendah yang berawa-rawa seperti di daerah Kalimantan Selatan. Hal ini mrnunjukkan bahwa daya adaptasi kerbau pada berbagai kondisi agroekosistem sangat besar. Sebagai akibat pengaruh lingkungan telah terjadi semacam evolusi sehingga timbul semacam sub grup pada kerbau di Indonesia, seperti (1) timbulnya kerbau-kerbau yang berbadan besar da yang berbadan kecil, (2) perbedaan terhadap daya tahan terhadap panas, dan (3) kegemaran hidup di dalam air (Hardjosubroto, 2006).

Beberapa kerbau liar yang masih dapat dijumpai, yaitu anoa, kerbau Mindoro, Buballus caffer, dan kerbau merah.

1) Anoa (Buballus depressicornis) adalah kerbau liar di daerah Minahasa, Gorontalo, Tolitoli dan Bontain. Bentuk tubuhnya kerdil.

2) Kerbau Mindoro (Buballus mindorensis) yang terdapat di Filipina. Kerbau ini juga bertubuh kecil, menyerupai kerbau kerdil.

3) Buballus caffer, kerbau liar yang sangat kuat terdapat di Afrika Timur, dan beberapa di daerah Afrika Barat Daya, Transvaal dan Kongo.

4) Kerbau merah. Kerbau ini kecil, warnanya merah. Tingginya 1,2 – 1,5 m terdapat di Afrika Barat, di daerah Tsad, Niger hilir, Kongo dan Maroko Selatan.

Umumnya semua tipe kerbau domestik (Bubalus bubalus) dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau sungai ( river buffalo) dengan tanduk melingkar ke bawah dan kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo) yang tanduk melengkung ke belakang.

Kedua kelompok kerbau ini mempunyai sifat biologis yang berbeda. Kerbau sungai menunjukkan kesenangan terhadap air mengalir yang bersih, sedangkan kerbau lumpur suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa dan air menggenang. Kerbau tipe lumpur biasa digunakan sebagai ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagai

Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia. Populasi kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau lumpur dan hanya sedikit kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara oleh masyarakat keturuan India dan digunakan sebagai penghasil susu.

Kerbau lumpur yang berkrmbang dan dibentuk menurut agroekosistem memunculkan berbagai tipe kerbau. Di Toraja ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau Rawa, di Tapanuli Selatan ada kerbau Binanga, di Kalimantan Selatan ada kerbau Kalang dan di Maluku ada kerbau Moa.(Hardjosubroto, 2006)

B. Populasi dan Penyebaran Ternak Kerbau di Indonesia

Menurut Susilorini, Sawitri, Muharlien (2008) populasi kerbau di Indonesia terdiri dari kerbau perah dan kerbau potong. Populasi kerbau perah (river buffalo) sangat sedikit, hanya sekitar 5% dari populasi yang ada, sedangkan poulasi kerbau potong dan kerja (berupa kerbau lumpur/swamp buffalo) mencapai hingga 95%. Populasi ternak kerbau di Indonesia sekitar 2,5 juta ekor. Namun populasi ternak kerbau di Indonesia mengalami penurunan. Selanjutnya dikatakan data selama tahun 1985 - 2001 menunjukkan bahwa populasinya menurun drastis dari 3,3 juta ekor pada tahun 1985 dan menjadi hanya 2,4 juta ekor di tahun 2001 atau mengalami penurunan populasi sebesar 26 %. Namun demikian, populasi ternak kerbau di Pulau Sumatera agak meningkat dari 1,1 juta ekor menjadi 1,2 juta ekor di tahun yang sama atau mengalami pertumbuhan populasi sebesar 9 %.

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya populasi ternak kerbau disebabkan oleh keterbatasan bibit unggul, mutu pakan ternak rendah, perkawinan silang dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut. Kebijakan pengembangan usaha pembibitan kerbau diarahkan pada suatu kawasan, baik kawasan khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan dan pengawasannya (Suilorini, Sawitri, dan Muharlien. 2008)

Tabel 1. Populasi Ternak Kerbau di Sumatera Barat.

No.

Kab/Kota

Tahun



2005

2006

2007


Kabupaten




1

Pesisir Selatan

31.031

26.725

25.775

2

Solok

9.521

10.876

11.368

3

Sijunjung

33.898

37.521

37.738

4

Tanah Datar

17.096

18.844

18.483

5

Padang Pariaman

36.053

37.842

38.349

6

Agam

17.472

25.772

26.408

7

50 Kota

24.049

23.759

27.651

8

Pasaman

2.952

2.647

2.251

9

Mentawai

131

129

129

10

Solok Selatan

8.735

8.287

8.320

11

Pasaman Barat

3.574

2.850

3.837

12

Dharmasraya

7.382

7.323

7.414

13

Padang

5.010

3.103

5.361

14

Solok

277

175

246

15

Sawahlunto

2.420

2.392

4.011

16

Padang Panjang

121

144

335

17

Bukittinggi

328

337

647

18

Payakumbuh

855

1.144

1.256

19

Pariaman

516

661

663


JUMLAH

201.421

210.531

220.242

Sumber : Endang, Rusfidra, Indri Juliyarsi, Hendri (2009)

B. Bobot Lahir

Menurut Rivai (1995) bobot lahir adalah berat badan anak pada waktu dilahirkan. Anak kerbau yang dilahirkan dengan bobot badan yang lebih tinggi pada umumnya memperlihatkan pertumbuhan yang lebih cepat, karenanya berat lahir perlu dijadikan pertimbangan dalam memilih stock disamping faktor lainnya.

Menurut Bufferning et all (1978) anak sapi yang mempunyai bobot lahir yang lebih tinggi tumbuh lebih cepat terutama selama periode selepas sapih dan membutuhkan waktu yang lebih cepat untuk mencapai bobot akhir dari anak yang mempunyai bobot lahir yang lebih kecil. Rivai (1995) menyatakan bahwa terdapat perbedaan bobot lahir anak jantan dan anak betina, di mana anak kerbau jantan lebih tinggi bobot lahirnya dari anak kerbau betina.

Menurut Sutan ( 1988) Perpanjangan lama bunting satu hari menyebabkan pertambahan bobot lahir naik 0,45 kg. Menurut Suardi (2003) bobot lahir dipengaruhi oleh jenis kelamin anak, bangsa induk, lama bunting, umur induk dan makanan induk selama bunting. Rivai (1995), menyatakan bobot lahir dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh induk seperti genetik induk, manajemen terhadap induk dan paling dominan adalah pemberian makanan selama bunting.

Bobot lahir mempunyai hubungan yang erat dengan pertumbuhan dimana anak yang bobot lahirnya lebih tinggi akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih cepat dan ekonomis dibandingkan dengan anak yang bobot lahirnya rendah pada pemberian jumlah makanan dan kualitas yang sama (Anggorodi, 1979).

Bobot lahir kerbau air umumnya lebih tnggi dlahir daripada lahir sapi, kecuali bangsa sapi Friesian Holstein. Rata-rata bobot lahir kerbau keturunan bangsa kerbau India dan Pakistan umumnya berbeda dengan keturunan kerbau Mesir. Bobot lahir kerbau keturunan bangsa kerbau Mesir mempunyai kisaran 36-40 kg, sementara kerbau India-Pakistan mempunyai kisaran bobot lahir 27-33 kg. Sebab umum dari perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan iklim. Kerbau Thailand mempunyai bobot lahir 27,8-29 kg, sedang kerbau Malaysia kurang lebih 38,3 kg. Bobot lahir kerbau jantan kadangkala diketahui berbeda nyata dengan bobot lahir kerbau betina, sekitar 0,8 kg. Namun, kebenaran dugaan ini masih sering ditolak oleh beberapa ahli. Bobot gudel diketahui mempunyai hubungan yang positif dengan umur induknya. Oleh karena itu, bisa dimengerti bahwa bobot lahir gudel akan semakin tingi bersamaan dengan pertambahan berat induknya ( Tridjoko Wisnu Murti, 2002)

Adapun faktor –faktor yang mempengaruhi bobot lahir anak kerbau sebagai berikut:

1. Paritas Induk

Menurut Triwulaningsih ( 1987), paritas induk yaitu urutan keberapa kali melahirkan (paritas) mempengaruhi bobot lahir anak. Sutan (1988) menyatakan, bahwa umur induk dan paritas berpengaruh terhadap bobot lahir anak. Carrol dan Krider (1971) mengemukakan, bahwa ternak babi pada kondisi normal mencapai paritas pertama pada umur sekitar 12 sampai 14 bulan. Rata-rata induk yang melahirkan pada umur lebih tua umumnya berat lahi r per individunya lebih tinggi dari anak yang dilahirkan dari seekor induk yang lebih muda, hal ini disebabkan induk-induk muda tumbuh terus selama masa kebuntingan yang pertama, sehingga harus bersaing ketat dengan janin yang ada dalam kandungan untuk bahan makanan yang tersedia (Toelihere, 1981)

2. Lama Bunting

Lama bunting adalah waktu yang di hitung dalam hari antara kawin terakhir dengan terjadinya kelahiran anak dalam hidup, berkisar 110-115 hari (Reid, 1955). Toelihere (1985) mengemukakan, bahwa selama masa kebuntingan mengalami perkembangan gradual untuk memungkinkan ekspansi janin, untuk bangsa yang berbeda didapati juga perbedaan kecepatan pertumbuhan dan perkembangan jaringan uterusnya dan pada akhirnya bobot lahir anak berbeda.

3. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah tanda kelamin dari anak kerbau yang baru dilahirkan. Jenis kelamin pada mamalia biasanya ditentukan oleh susunan genetik pada individu embrio dan induk betina yang menyumbang kromosom X dan induk jantan yang menyumbang kromosom X atau Y. Embrio dengan kromosom XX akan menjadi betina sedangkan embrio dengan kromosom XY akan menjadi jantan (Frandson. R.D, 1992)

Pada umur yang sama anak jantan lebih cepat pertumbuhannya daripada anak betina, hal ini disebabkan fetus jantan lebih aktif dalam menyerap makanan induk dibanding fetus betina (Campbell dan Lasley, 1969). Di samping itu anak jantan mempunyai hormon testosteron yang dapat merangsang pertumbuhannya lebih dari anak betina (Toelihere, 1985).

4. Bangsa

Ukuran fetus secara genetik ditentukan oleh komplemen gennya sendiri, komplemen gen induk dan kompetisi intrauterin dengan fetus lain dalam kandungan (Gordon, 1988). Arbi dkk (1977) mengemukakan, bahwa setiap bangsa ternak mempunyai kecepatan pembelahan sel yang berbeda-beda, selanjutnya menyebabkan bobot lahir maksimal yang berbeda.

5. Makanan

Kekurangan makanan pada ternak yang sedang bunting akan depat mengganggu pertumbuhan embrio serta kematian fetus dalam kandungan atau bila melahirkan akan terdapat kelainan pada anak (Anggorodi, 1979).

Induk yang cukup memperoleh makanan akan berada pada batas potensi genetiknya dalam hal menghasilkan anak, salah satu pengaruh makanan induk yang kurang selama masa kebuntingan adalah berkurangnya glikogen dalam hati dan otot fetus (Nelson, 1988). Parakkasi (1983) menyatakan, bahwa pemberian makanan yang sempurna akan berpengaruh baik terhadap tingkat ovulasi dan konsepsi.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

A. Materi Penelitian

Materi penelitian ini adalah anak kerbau yang baru lahir selama berlangsungnya penelitian. Anak kerbau ini berasal dari 20 ekor induk kerbau yang terdiri dari delapan (8) paritas yaitu : paritas pertama, paritasbkedua, paritas ketiga, paritas keempat, paritas kelima, paritas keenam, paritas ketujuh dan paritas kedelapan. Masing-masing paritas terdiri dari 4 ekor induk kerbau

Timbangan skala 100 Kg

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai adalah metode survey dengan purposive sampling yaitu pengamatan langsung ke lapangan usaha peternakan kerbau, dan data diperoleh dengan melakukan penimbangan anak kerbau yang baru lahir dalam jangka waktu 12 jam. Survey bertujuan untuk memperoleh gambaran umum mengenai objek yang ditteliti. Dengan melakukan metode ini memungkinkan untuk mendapatkan data yang lebih detail dan lebih akurat mengenai topik permasalahan.

C. Peubah-peubah yang Diamati

Dalam penelitian ini peubah-peubah yang diteliti adalah : bobot lahir dan paritas induk

1. Bobot lahir adalah bobot pada saat anak kerbau dilahirkan yang ditimbang dalam waktu 12 jam atau sebelum menyusu. Didapatkan dengan cara menimbang berat total anak kerbau yang baru dilahirkan dari masing-masing induk yang ditimbang dengan menggunakan timbangan dalam skala kg.

2. Paritas Induk adalah urutan keberapa kali melahirkan (paritas) mempengaruhi bobt lahir anak. (Triwulaningsih, 1987)

D. Prosedur penelitan

1. Survei melihat induk kerbau yang bunting

2. Anak kerbau yang lahir dan akan ditimbang dipisahkan dari induknya terlebih dahulu, dimasukkan ke kandang khusus anak kerbau

3. Pastikan timbangan berada di angka nol

4. Timbang bobot badan peneliti, dan catat berapa bobotnya ( penimbangan pertama)

5. Timbang anak kerbau yang digendong oleh peneliti, dan catat berapa bobotnya ( penimbangan kedua)

6. Kemudian selisihkan antara bobot pada penimbangan kedua dengan bobot pada penimbangan pertama

E. Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan model regresi kuadratik.

Y= a + bX + cX2

Ket :

Y = Bobot Lahir Kerbau

X = Paritas Induk

=

Dimana a, b, c dihitung dengan persamaan :

= na + b∑Xi + c∑Xi2

∑Xi Yi = a∑Xi + b∑Xi2 + c∑Xi3

∑Xi2Yi = a∑Xi2 + b∑Xi3 + c∑Xi4

F. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Nagari Pematang Panjang,Kecamatan Sijunjung Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat, yang dilaksanakan sejak..... sampai....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar