Powered By Blogger

Jumat, 01 April 2011

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN SUPLEMEN TERHADAP KADAR PROGESTERON KERBAU PASCA MELAHIRKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE RIA (Radioimmuoassay)

OLEH:

ADI HERMANTO

logoUnand

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2010

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kurniaNya yang tak terhinga, sehinga penulisan usulan penelitian ini dengan judul ”PENGARUH PEMBERIAN PAKAN SUPLEMEN TERHADAP KADAR PROGESTERONE KERBAU PASCA MELAHIRKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE RIA (RadioImmunoassay) ” dapat di selesaikan. Shalawat dan salam penulis hantarkan kepada nimbi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam jahilliyah kea lam berilmu pengetahuan.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Prof.Dr.Ir.H.Suardi, MS selaku pembimbing I, yang telah banyak dan memberikan pengarahan serta saran pada penulis dalam masa studi dan penyusunan usulan penelitian ini. Semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang setimpal, amin.

Harapan penulis semoga hasil penelitian ini dapat memberikan mamfaat bagi penulis dan pihak yang bersangkutan, amin.

Padang, September 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR............................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................. ii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................. 1

B. Perumusan Masalah...................................................................... 3

C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umun Tentang Ternak Kerbau....................................... 4

2.2. Birahi Dan Siklus Estrus............................................................. 6

2.3. Hormon Progesteron..................................................................... 8

2.4. Radioimmunoassay....................................................................... 10

2.5. Pakan Suplemen........................................................................... 13

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Materi Penelitian........................................................................... 16

3.2. Metode Penelitian......................................................................... 16

3.3. Analisis Data................................................................................. 17

3.4. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peran subsektor peternakan rakyat sebagai penyedia kebutuhan daging nasional masih belum optimal. Hal tersebut disebabkan pakan yang mereka berikan hanya berupa hijauan yang berkualitas rendah, seperti jerami padi dan rumput lapangan. Pakan tersebut menyebabkan ketersediaan protein bagi pertumbuhan menjadi kurang optimal Salah satu masalah yang umum dihadapi oleh peternak tradisional adalah rendahnya mutu pekan dengan kandungan serat kasar yang tinggi, berupa jerami, rumput lapangan dan berbagai jenis hijauan lainnya. Jenis pekan ternak tersebut sulit dicerna dan tidak dapat memberikan zat-zat nutrisi yang berimbang untuk mendukung produktivitas yang optimal.

Strategi untuk meningkatkan konsumsi pakan oleh ternak pada kondisi pemeliharaan tradisional ialah dengan memberikan suplemen yang tersusun dari kombinasi bahan ilmiah sumber protein dengan tingkatan jumlah tertentu yang secara efisien dapat mendukung pertumbuhan, perkembangan dan kegiatan mikroba secara efisiensi dalam rumen.

Untuk mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur,khususnya di bidang subsektor peternakan salah satu usaha yang di lakukan pemerintah adalah memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat . Hal ini dapat terwujud jika masalah-masalah seperti menajemen,reproduksi dan penyakit ternak dapat diatasi.

Keberhasilan usaha peningkatan produksi sangat ditentukan oleh peningkatan populasi ternak, efisiensi reproduksi dan cara pengelolaan ternak. Sampai saat ini ganguan reproduksi merupakan masalah penting yang sering dialami oleh peternak dalam menjalankan usaha peternkan kerbau. Masalah reproduksi yang sering terjadi adalah kegagalan birahi dimana pada saat estrus kerbau tidak memperlihatkan gejala birahi,

Usaha yang di lakukan untuk mencapai tujuan diantaranya meningkatkan populasi yang telah ada dengan melakukan perbaikan-perbaikan mutu genetik dari materi yang ada. karena peternak tidak mengetahui kondisi reproduksi yang pasti mengenai ternaknya sendiri sehingga kerugianpun tidak dapat dihindari.

Metode paling akurat untuk mendeteksi birahi adalah dengan menggunakan pejantan pelacak dan juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode radio immunoassay (RIA) atau Enzyme immunoassay (EIA) untuk mendeteksi tinggi rendahnya kadar hormon progesterone,estrogen,testoteron dalam darah,feses,dan urin (Kamonpatana, 1979 ; Astuti P, 2007). Melalui metode RIA (Radio immunoassay) dapat dilakukan deteksi terhadap kadar hormon progesteron dalam tubuh. Kadar hormon dalam tubuh dapat diketahui melalui cairan bilogis seperti darah, susu dan urin. Dengan mengetahui kadar progesteron tersebut dapat diketahui saat estrus dan saat perkawinan yang tepat serta kebuntingan dan gangguan-gangguan sistim reproduksi seekor ternak dapat diketahui lebih dini.

Kadar hormon progesteron dalam serum atau plasma dan air susu dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan stadium tertentu dalam status reproduksi hewan yang diamati, di Thailand dan Srilanka, tingkatan hormon progesteron dalam serum atau plasma kerbau digunakan sebagai petunjuk untuk melakukan IB (inseminasi Buatan) yang tepat (komawokrit dkk, 1976 dan perera, 1981 dalam maryati, 1985).

Sejak tahun 1976 Edqist dkk, (maryati, 1985) telah menggunakan radioimmunoassay (RIA) untuk mengukur kadar hormon progesteron dalam sarum ataupun plasma hewan.

Dari uraian diatas peniliti tertarik melakukan penelitian dengan judul PENGARUH PEMBERIAN PAKAN SUPLEMEN TERHADAP KADAR PROGESTERON PASCA MELAHIRKAN PADA KERBAU DENGAN MENGGUNAKAN METODE RADIOIMMUNOASSAY (RIA).

1.2. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum penelitian ini adalah memperbaiki efisiensi reproduksi Kerbau melalui percepatan berahi post partum dengan penerapan teknologi RIA.

2. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengidentifikasi penyebab anestrus post partum pada Kerbau ditinjau dari aspek pakan, untuk memperbaiki pakan Kerbau post partum dalam rangka mempercepat berahi post partumnya dan mengidentifikasi penyebab kegagalan kebuntingan Kerbau setelah di Kawinkan, ditinjau dari aspek tatalaksana reproduksi dalam rangka meningkatkan angka konsepsi.

1.3. Hipotesis

Pemberian pakan suplemen berpengaruh terhadap kadar progesteron pasca melahirkan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umun Tentang Ternak Kerbau

Kerbau air adalah ternak asli daerah panas dan lembap, khususnya didaerah belahan utara tropika. Trenak kerbau sangat menyukai air. Sisa-sisa fosil kerbau yang sekarang masih tersimpan di India (Lembah Hindus) menunjukan bahwa ternak kerbau sudah ada sejak zaman Pliocene. Kerbau lumpur demostikasi tampaknya berasal dari dataran China. Dari kedua itulah disperkirakan terjadinya pergerakan kearah timur dan barat. Kerbau pada zaman itu mengarah pada 2 jenis, yakni suatu mendekati jenis kerbau seperti anoa di Selawesi dan Tamarau di Filifina. Kerbau asia dikenal dengan berapa istilah sesuai dengan daerahnya, antara lain Bhanis di India, Aljamoss di Negara-negara Arab, kerbau di Malaysia dan kerbau di Indonesia (Murti 2000).

Kerbau rawa atau kerbau lumpur termasuk dalam sub family bovinae, genus bubalus, wild spesies, bubalus arnee dan sub genus bubalus bubalis yang telah dijinakan. Kerbau rawa memiliki tanduk padat, lebar dan panjang yang mengarah kebelakang. Bentuk tubuh kerbau rawa hamper mirip dengan dengan kerbau pedagin zebu, kompak dan padat. Bulu sangat lah jarang dan pada kerbau dewasa lebih kasar dengan warna kulit bervariasi dari hitam sampai merah muda dan bisa tidak berpigmen pada dearah tertentu, warna hitam dan warna abu-abu adalah warna yang bisa dijumpai pada hewan ini. Tanda putih dalam bentuk garis-garis dibawah rahang meluas dari telinga ketelinga dan atau dibawah leher dekat pangkal atau sekitar dada depan, kerbau rawa memiliki haris Whorls (spiral rambut). Preputeum kerbau rawa jantan melekat erat pada badan kecuali pada ujung umbilical, tidak terdapat bulu pada lubang pripeteum kerbau. Skrotum kerbau jantan lebih kecil dari pada sapi dan tidak terdapat konstriksi dekat pelekat skrotum dengan dinding abdomen (Bhattacharya, 1960).

Populasi ternak kerbau di dunia diperkirakan sebanyak 130-150 juta ekor, sekitar 95% berada dibelahan Asia Selatan, khususnya di India, Pakistan, China bagian selatan dan Thailand (Soni, 1986). Sedangkan populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia. Di Indonesia lebih banyak terdapat kerbau lumpur dan hanya sedikit terdapat kerbau sungai. Ilyas (1995) menyatakan kerbau rawa Indonesia berasal dari India. Disumatera Utara terdapat kerbau murrah yang merupakan kerbau sungai yang di pelihara oleh masyarakat keturunan India dan digunakan sebagai penghasil susu.

Keungulan ternak kerbau adalah kemampuna bertahan hidup pada kondisi pakan sedang (Toelihere,1976). Usaha ternak kerbau merupakan usaha peternakan rakyat yang dipelihara sebagai usaha sampingan, mengunakan tenagakerja keluarga dengan skala usaha yang kecil karena kekurangan modal. Disamping itu sebagian peternaknya adalah penggaduh dengan system bagi hasil dari anak yang lahir tiap tahunya. Pemeliharaan ternak umumnya bergantung pada ketersedian rumput alam. Siang hari peternak mengiring ternak ketempat pengembalaan dan malamhari dibawa ke dekat pemungkinan dan biasanya tampa kandang, ternak hanya di ikat di belakang rumah petani, dan belum bisa memberikan makan tambahan.

Selain produksi daging, kerbau juga sebagai penghasil susu yang di olah dan dijual dalam bentuk dadih di Sumatera Barat dan berapa daerah Riau serta Gula Puan, Sogan Puan dan Minyak Samin di Sumatera Selatan. Secara umum produktifitas susu masih rendah yaitu masih sekitar 1-2 liter/ekor/hari. Perbedaan utama antara sapi dan kerbau terletak pada jumlah kromosom yang dimiliki oleh kedua jenis tersebut. Fahimmudin (1975) mengatakan bahwa kromosom diploid (2n) kerbau berjumlah 48 yang yang 40 antaranya berbentuk batang dan 8 lainya berbentuk V. sedangkan kromosom diploid (2n) pada sapi berjumlah 60.

2.2 Berahi Dan Siklus Estrus

Berahi (estrus) adalah waktu dimana ternak betina siap untuk menerima ternak jantan untuk kawin (Partodihardjo, 1982). Berahi pertama pada kerbau mesir rata-rata dicapai pada umur 13- 33 bulan pada kerbau di Bulgaria, 26- 29 bulan kerbau lumpur di Philipina, tiga tahun kerbau Komboja dan dibawah dua tahun pada kerbau Australia(FAO, 1977: Anonymous, 1877)

Siklus berahi berlansung 19-25 dengan rata-rat 20,8 hari pada kerbau di Indonesia (Toelihere, 1976). Penelitian lain melaporkan bahwa selama siklus berahi rata-rata pada ternak kerbau tidak terlalu banyak berbeda. Seperti dikemukan oleh Bhannasiri (1975) dan Kamonpatana, Luvira, Bohhipakasa dan Kunawongkrit, (1976) dari Thailan, masing-masing 22 hari dan 21 hari. Sedangkan Jainudeen (1977) dari Malaysia melaporkan angka rata-rata 20,4 hari pada kerbau lumpur. Dari Mesir, El Sheikh dan El Fouly (1971) melaporkan bahwa siklus berahi pada kerbau berlansung selama 21 hari. Pada kerbau masih muda, siklus berahi dapat lebih lama. Di Bulgaria lama siklus berahi kerbau 21 hari (Anonimus, 1977).

Gejala berahi pada kerbau menyerupai gejala berahi pada sapi, yaitu memperlihatkan sikap yang tidak tenang, menaiki teman yang sejenis, ekor diangkat dan keluar lendir jernih dari alat kelamin. Pada musim dimana suhu udara tinggi, gejala berahi sering tidak jelas terlihat dan lendir yang menggantung pada alat kelamin sering tidak ada, sehinga berahi tidak diketahui oleh peternak. Jika dibandingka pada kerbau perah, kerbau lumpur memperlihatkan gejala berahi yang jelas (Anonymous, 1977). Laporan dari Mesir menyatakan bahwa gejala berahi pada kerbau sering terlihat pada sore hari atau malam hari (Hafez, 1952: El Sheikh dan El Fouly, 1971), tetapi Toelihere (1976) dan Fadzill dan Kamrudin (1969) Dan camoens (1976) menyatakan bahwa berahi kerbau kerbau sering terlihat pada pagi atau siang hari dan kadang-kadang sangat singkat.

Gejala berahi hasil pengamatan Alfonson (1975), Toelihere (1976) dan Jainudeen (1977) adalah keluar lendir tembus pandang dari vulva, vulva bengkak, gelisah, saling menaiki, mencari pejantan, nafsumakan berkurang, menggankat ekor bila vulva diraba, sering kencing dan selalu melenguh. Lendir vaginan yang tampak jelas menggantung pada sapi kurang tampak jelas pada kerbau yang sedang berahi (Alfonso, 1975: Jainudeen,1977). Sebenarnya sekresi lendir cukup banyak tetapi mengumpul pada lantai vagina sehinga terlihat kurang menggantung. Toelihere (1982) menyarankan bahwa waktu untuk mendeteksi berahi pada kerbau lumpur sebaiknya dilakukan antara pukul 05:00 sampai 06:00 dan 17:00 sampai19:00. Gejala berahi saling menaiki tampak pada waktu fajar, sedangkan lendir vulva keluar pada pagi hari dan sore hari. Pengamatan lendir secara individual dapat diamati pada waktu kerbau pada posisi rebahan.

Metode yang paling akurat untuk mendeteksi berahi adalah dengan mengudakan pejantan pelacak (Teasera). Disamping itu mendeteksi berahi dapat dilakukan dengan mengunakan metode Radio Immunoassay (RIA) atau Enzyme Immunoassay (EIA) untuk mendeteksi tinggi rendahnya kadar hormon estrogen, progesteron dan testosteron dalam darah, fases maupun urin (Komanpatana,1979: Astuti P, 2007).

Ovulasi pada kerbau lumpur di Malaysia rata-rata berlansung 18.40 ± 1.40 jam sesudah berahi berakhir (Jainudeen, 1977). Jellinek dan Avenell (1982) mendapat waktu ovulasi pada kerbau lumpur (di Indonesia) yang diranut berdasarkan kandunaan LH (luitinizing hormon) tertinggi dalam serum darah secara alamiah maupun dengan pemberian PGF2, masing terjadi 40 jam dan 48 jam setelah hari siklus kenol atau 53.20 ± 7,20 jam dam 52.40 ± 2.20 jam setelah luteolisis

2.3 Hormon Progesteron

Progesterone merupakan hormon kebuntingan yang menyebabkan penebalan pada endo metrium dan perkembangan kelenjar uteri yang yang mendahului terjadinya implantasi dari ovum yang di buahi. Progesteron menghambat motilitas uteri yang berlebihan selama periode implanttasi dan dalam periode kebuntingan. Perubahan rasio estrogen dan progesteron dapat menaikan kepekaan uterus terhadap oksitosin dan kemungkinan yang akan menyebabkan kelahiran. (Frandson, 1992)

Partodihardjo (1987) menyatakan progesteron merupakan substansi intermedia dari sintesa androgen, estrogen atau cortisol dan alat-alat tubuh yang melepaskanya adalah ovarium, tes-tes adrenal cortex, plasenta dan bagian ovarium yang menghasilkan progesteron adalah folikel, corpusluteum dan sel-sel ovarium.

Pembentukan progesteron pada plasenta terjadi terjadi selama periode kehamilan. Hormon progesteron berfungsi setelah ovulasi dan menyebabkan perkembangan yang luas dari endo metrium, menyiapkan uterus untuk menerima embrio. Hormon ini juga menhambat kerja estrogen pada berbagai jaringan termasuk mukosa servik, efitel vagina dan uterus. Apa bila terjadi kehamilan korpus luteum dipertahankan dan menstruasi serta ovulasi ditekan. (Martin, 1987). Hormon progesteron di produksi oleh korpus luteum dalam jumlah sedikit dihasilkan juga oleh plasenta dan kelenjar adrenal selama kebuntingan berlansung juga bertanggung jawab untuk membawa perubah-perubahan yang diakibatkan oleh estrogen dalam uterus seperti antara lain dengan menambah pertumbuhan sel-sel epitel dan vaskularisasi untuk mempersiapkan inplantasi dan perkembangan embrio pada waktu bunting (achjadi, 1989).

Menurut soransen (1979) progesteron di produksi oleh korpus luteum, funsinya adalah

1. Menghalangi tingkah laku seksual

2. Menjaga keseimbangan dengan menghalagi kontraksi rahim dan meningkatkan perkembangan glandular pada endrometrium

3. Meningkatkan perkembangan alveolar pada kelenjar susu dan aksi sinergis dari estrogen dan progesteron secara khusus mempersiapakan rahim kehamilan dan kelenjar susu.

Toelihere (1986) menyatakan fungsi progesteron sulit di pisahkan dari hormon-hormon lain seperti estrogen, hal ini disebabkan karena kenyataan bahwa progesteron secara normal berkerja sama dengan estrogen dan steroid-steroid lain yang menghasilkan hanya sedikit pengaruh khusus bila bekerja sendiri. Beberapa fungsi dan pengaruh khusus progesterone antara lain:

a. Progesteron mempertahankan kebuntingan dengan mengahasilkan suatu lingkungan endometrial yang sesuai dengan kelanjutan hidup dan perkembangan embrio.

b. Dengan menghambat produksi SFH dan LH progesteron mencegah terjadinya estrus, ovulsi dan siklus birahi.

c. Progesterone mungkin berkerja sama dengan estrogen untuk menstimulir ovulasi dan menggertak pelepasan LH,apabila disuntikan dalam jumlah kecil selama pemulaan estrus pada kerbau.

d. Pada kebanyakan species, progesteron dalam jumlah kecil mungkin berkerja sama dengan estrogen untuk menimbulkan tanda-tanda birahi dan penerimaan pejantan.

Funsi pokok dari progesteron adalah mempersiapkan alat reproduksi betina untuk impalantasi (peristiwa tertanamnya embrio pada endometrium), memelihara kebuntingan dan mengertak kelenjar susu untuk tumbuh atau berkembang mempersiapkan produksi susu (hafez, 1974).

Dari penelitian Mc Donal (1969) yang dikutip oleh toelihere (1986) menyatakan pada kebayakan species, progesteron dalam kecil mungkin berkerja sama dengan estrogen untuk menimbulkan tanda-tanda birahi dan menerima pejantan. Apabila progesteron dari corpus luteum ternyata kurang, maka kupulasi pertama tidak disertai tanda-tanda birahi dan ini disebut birahi tenang (silent heat). Hal ini terlihat pada musim kawin pada domba, dan pada periode paspartum pada kerbau.

Menurut Reimers (1982) yang dikutip oelh arifin 1986 bahwa kadar progesteron dalam tubuh hewan bergantung pada waktu dan siklus reproduksi,pada waktu estrus yang dikuti oleh ovulasi kadar progesteron masih randah kemudian beberapa hari selanjutnya semakin meningkat kemudian menurun kembali seperti semula apa bila tidak terjadi kebuntingan dan sebaliknya apa bila terjadi kebuntingan maka kadar progesteron dalam tubuh tetap tinggi sampai saat melahirkan. Progesteron dalam darah meningkat dengan pesat pada minggu ketiga setelah ternak tersebut dikawinkan.

Partodihardjo (1987) menyatakan dalam studi progesteron bahwa lemak dapat menjadi depot dari progesterone atau dapat dikatan bahwa lemak merupakan gudang dari progesteron yang dapat melepaskanya kembali sedikit demisedikit kedalam peredaran darah

2.4 Pengukuran Hormon Progesteron Dengan Metode Radioimmunoassay

Pengukuran hormon reproduksi dapat di lakukan melalui darah, air, feses dan urin. Analisa hormon dalam darah dapat memberikan gambaran frofil hormonal yang terkait dengan perubahan fisiologis yang terjadi pada waktu yang bersamaan. Keuntungan lain dari sampel darah bisa langsung dianalisa. Kerugiannya adalah kemungkinan akan menggangu fungsi fisiogis karena adanya faktor stress pada saat pengambilan sampel.

Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum selama fase luteal dan mencapai puncak produksinya pada hari ke enamsampai hari ke tiga sebelum birahi kmudian turun dan tetap rendah kadarnya selama birahi (Wattemann dkk, 1972). Menurut Kaltenbach dan dun (1980), progesteron berkerja saling membantu dengan estrogen terhadap pertumbuhan sel-sel selaput lender uterus dan system alveolar dari ambing, menghambat kontraksi uterus, menggertak kelenjar uterus mengeluarkan cairan uterus untuk memelihara janin selama masa kebuntingan. Pada dosis tinggi, progesteron dapat menghambat sekresi LH, maupun terjadinya birahi dan ovulasi.

Radioimmunoassay adalah teknik nuklir yang bayak digunakan mengetahui konsentrasi hormon. Pengujian ini menggunakan antibodi yang spesifik untuk hormon sebagai protein terikat (technical reports series No 233,1984)

Prisip dasar dari radioimmunoassay ini adalah reaksi antara antigen dan antibody di dalam reaksinya ini yang utama adalah sifat kekhususannya, sebuah antigent yang bereaksi dengan antibody yang spesifik untuknya dan tidak mengadakan reaksi silang (cross reaction)

Dengan tipe antigent yang sama (soewondo, 1988). Bahan pereksi dalam radioimmunoassay ialah antigen radioaktif dan antibody spesifik (soewarsono dan arifin, 1988)

Garvey et al (1977), bahwa dasar kerja RIA adalah Untuk mengetahui perbandingan konsentrasi antibody yang terdapat pada bagian dalam tabung dan anti gen yang terdapat didalam sampel dengan menggunakan radio aktif. Persaingan konsentrasi antigen sampel dapat ditentukan dari reaksi reduksi pengikatan konsentrasi antigen dari antibody yang terdapat pada bagian dalam tabung.

Metode radioimmunoassay (RIA) mempunyai kemampuan untuk menentukan zat-zat fisiologis dalam tumbuh sampai kosentrasi yang sangat rendah sekali hampir sekitar nanogram (ng = 10‾‾) dan bahkan mencapai konsetrasi pictogram (pg = 10 ) untuk setiap 1 ml. metode ini sangat penting dalam peptide dan hormon steroid yang terdapat dalam plasma yang kosentrasinya rendah. Metode RIA ini tergantung kepada kompetisi untuk mendapatkan tempat-tempat kedudukan (ikatan) pada antibody yang spesifik dari suatu zat tertentu antara zat tertentu di dalam serum dan zat yang sama ditandai dengan unsur radioaktif. Zat ini misalnya suatu hormon seperti thyroxin ,FSH,LH dan lainya (soewondo, 1988).

Dasar kerja radioimmunoassay adalah pengikatan antigen progesteron yang terkandung dalam serum dengan progesteron antibody spesifik yang di lapiskan pada dinding tabung. Sisa anti bodi yang spesifik yang tidak diikat oleh antigen progesteron sample akan mengikat 125I. makin banyak 125I yang terpecah berarti semakin sedikit kadar progesteron di dalam saple (maryati, 1985).

Menurut partodihardjo (1985) metode RIA ini sangat peka terhadap pengukuran hormon sampai sekecil 10 pikogram (0,01 mugmilimikogram). Pada metode ria ini yang diukur adalah daya immunologinya dan bukan daya biologi hormon.

kelebihan teknik RIA dibanding dengan teknik lain diantaranya : mudah di kerjakan, mempunyai ketepatan yang tinggi, pekerjaannya lebih cepat dan tidak memerlukan jumlah sampel yang besar (Soewarsono Dan Arifin, 1981).

Menurut Cook (1990), anti serum untuk hormon yang diuji harus memiliki spesifik yang tinggi. Ketelitian ini dapat dikurangi dengan syrat bahwa sampel hormonal berlabel mempunyai kemurnian yang luar biasa. Anti serum mempunyai efiditas yang tinggi untuk anti gen hormon dan diperlukan titer yang tinggi. Cairan anti serum yang diguanakan antara 1 : 10.000 dan 1 : 100. Hormon berlabel menunjukkan reaksi pada antibody dengan cara yang sama dengan hormone yang tidak berlabel. Ini tidak dapat terjadi jika atom iodine relative lebih besar dari molekul hormon dalam kompirgurasi yang ditumpangi.

2.5 Pakan Suplemen

pakan suplemen adalah pakan yang diformulasi sedemikian rupa hingga mengandung protein dan energi yang memadai. Komposisi bahan yang digunakan dalam pakan suplemen yang dibuat dalam bentuk pellet terdiri dari urea, saka, daun ketela pohon, dedak, garam, semen, mineral mix dan air dan larutan Mc Dougalls sebagai buffer.

Bahan utama pakan suplemen berupa pellet yang berasal dari daun ketela pohon merupakan salah satu tanaman pangan penghasil kalori yang dimanfaatkan oleh manusia umumnya ditanam tampa pemupukan pada tanah-tanah miskin hara, dimana jenis tanaman panagan lainnya tidak mampu berproduksi secara optimal.

Daun ketela pohon memiliki kandungan asam amino yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedele akan tetapi defisien asam amino yang mengandung sulfur (Eggum, 1970). Terdapat variasi yang cukup besar terhadap kandungan protein diantara varietas ketela pohon dan kandungan nutrisi tersebut berubah berdasarkan umur tanaman. Rogers dan Milner (1963) melaporkan bahwa kandungan protein kasar pada 20 kultivar ketela pohon yaitu berkisar antara 17.8 hingga 34.8%. Kandungan protein kasar dan asam-asam amino pada daun ketela pohon dapat turun menurut umur, yaitu pada daun muda sekitar 38,1% dan 19,7% pada daun yang tua, sedangkan kandungan serat kasar, hemisellosa dan sellulosa meningkat (Ravindran dan Ravindran, 1988). Selain itu, ketela pohon kaya akan sumber mineral terutama kalsium dan mineral mikro (Ravindran dan Ravindran, 1988). Daun ketela pohon memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari tangkai daun dan batang (Khieu Borin et al., 2005), dan oleh karena itu daun ketela pohon tersebut cocok untuk ternak monogastrik seperti babi dan unggas, sedangkan bagian batang dan dahannya atau keseluruhan bagian tanam ketela phon tersebut cocok untuk ruminansia.

Penggunaan daun ketela pohon dalam bentuk kering (hay) dapat langsung diberikan sebagai pakan atau sebagai sumber protein dalam campuran konsentrat (Wanapat et al., 2000ab; Hong et al., 2003; Kiyothong dan Wanapat, 2004ab), sebagai komponen pada pakan pellet dalam campuran tepung kedele dan urea (Wanapat et al., 2006) dan sebagai komponen pakan bentuk blok dengan kualitas tinggi (Wanapat dan Khampa, 2006). Lebih lanjut dilaporkan bahwa manipulasi rumen dengan suplementasi daun ketela pohon dapat meningkatkan konsumsi hijauan yang memiliki kualitas rendah dan meningkatkan produktivitas ternak ruminansia terutama produksi susu dan pertambahan bobot badan (Wanapat, 1993; Wanapat et al., 2000b).

BAB III

MATERI DAN METODA PENELITIAN

3.1 Materi Peneliatian

Materi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah makanan suplemen dan darah kerbau yang di ambil pada ternak kerbau peternakan di KAB. Sijunjung. Kenagarian Pamatang Panjang, bahan yang di gunakan antara lain dikromat, parafim, kertas label, 125 I progesteron anti bodi tube lot No TPGI 678.

3.2 Metode Penelitian

A. Metode Yang Di Gunakan

Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung dan pemberian pakan suplemen selanjutnya dilakukan pengambilan darah guna dianalisis dengan memakai metode RIA untuk menentukan kadar proges teron pasca melahirkan.

1. Pembuatan Pakan Suplemen

A. Alat

1. Timganan

2. Ember baskom

3. Kompor

4. Periuk

B. Bahan

1. Daun ketela pohon

2. Dedak

3. Urea

4. Mineral

5. Garam

6. Saka

7. Semen

8. Air

2. Pengambilan Darah

A. Alat

1. spuit 10 cc

2. tabung antikoagulan EDTA (Ethyl Diamino Tetraacetic Acid)

3. es

B. Prodedur kerja

Darah kerbau di ambil dileher tepat pada pembuleh vena dengan menggunakan spuit 10 cc dari 20 ekor kerbau pasca melahirkan. Darah diambil masing-masing 10 ml dengan interval pengambilan 3 kali selama tiga bulan. darah dimasukkan ketabung reaksi yang sebelumnya sudah berisi dikhromat sebagai anti bakteri . kemudian disentrifug dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan di simpan dalam suhu rendah (freezer).

3. Prosedur RIA Sebagai Berikut :

1. Darah masing-masing di pipet 100 ul dan di masukkan ke dalam tabung yang telah di lapisi oleh lapisan progesteron antibody yang telah diberi label.

2. Tambahkan 1 ml radiao isotop 125 I Progesteron lalu kocok dengan menggunakan vortex mixer kemudian tutup dengan plastic para film dan disimpan selama 24 jam pada suhu kamar.

3. Setelah disimpan larutan radio isotop di buang kedalam botol khusus, tabung dikringkan dengan cara dibalik. Selanjutnya progesteron di cacah dengan gama coanter.

4. Presentase pengikatan progesteron dalam sampel oleh progesteron antibody spesifik dapat di ketahui dengan membandingkan hasil cacahan 125 I Pada tabung berlapis antibody tanpa sampel (control).

C. Variabel Yang Diukur

Dalam peneliatian ini variabel yang diukur adalah pengaruh pemberian pakan suplemen terhadap kadar progesteron dalam darah kerbau pasca melahirkan

D. Analisa Data

Data diolah secara statistik dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. 4 perlakuan adalah waktu pasca melahirkan. Steel and Torrie (1984)

E. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini di lakukan di KAB, Sijunjung dan dilabor Fakultas Kedokteran Unversitas Andalas mulai tgl….s/d….2010

DAFTAR PUSTAKA

Alfonso, N.E. 1975. Breeding management and feeding practises of buffaloes in Philippines, pp. 257 – 277. In ASPAC Asiatic Water Buffalo. Food and Fertilizer Technology Center, Taipei.

Anonimous. 1977. The Water Bffalo. Food and Agriculture organization. Rame.

Astuti. P, TL Yusuf, E Maheshwarsi, A Junaidi L Sjahfirdi,DSajuthi. 2007.level Plasma of Testosterone on Hylobates Molach and Macaca Fascikularis: The Efects of Briding System. Internasonal Comference and Warkspohmon Basic and Applied Science Improving Link of Bacis and Appled Science,Surabaya, 6-8 Agustus.

Bhnasiri, T. 1975. Cartain Characteristics of the water buffalo. Unferuffante Manuscrip. Dept. of livestock. Dev. Min. of Agric. & Coop. Bangkok. Thailand.

Bhattacharya, P. and S. N Luktuke, 1960. Studies on the effects of administration of gonadotropins in Augmenting fertility in farm animals. Bull. Nath. Inst. Sci. India 17 ; 58 – 75

Camoens, J.K. 1976. The Buffallo in Malaysia. Ministry of Agriculture, Malaysia.

Eggum, O.L., 1970. The protein quality of cassava leaves. Br. Journal of Nutrition, 24: 761-769

El Sheik, A. S. And El Fouly, M. A. 1971. Estrus, Estrous cycle and time of ovulation in aherd of buffalo heifers. Alexandria. J.Agric. Res. 19: 9 – 14.

Fadzil, M. And Kamarudin, U. G. 1969. Mating in Swamp buffaloes. Kajian Vet. 2:40

Fahimuddin, M. 1975. Domestic water buffalo. Oxford and IBH Publishing Co., Newdelhi.

FAQ.1977. The Water Buffalo. FAQ, Rome.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Penerjemah B. Srigandono dan K. Prasono. Ed. 4. Gajah Mada University Press, Jakarta

Ilyas ,A.Z. 1995 .Pedoman Pengembangan dan Perbaikan Ternak Kerbau di Indonesia. Dirjen Peternakan.

Jainudeen, M.R.1977. Reproduction of the malaisya swamp buffalo (buballus bubalis). Proc. 1. Join conf. on Health and production of Australia and local Cattle in Soustheast Asia, Min. of agric. Bull. No 146:162-169.

Kamonpatana, M.,; Lavira, Y; P. Bodhipakasha; A. Kunawangkrit. 1976. A. Prelimenary report of serum Progesterone, 17-OH-Progesteron 17 estradiol during cyle in swamp buffalo. Internasional Simposium on Nulear techniques in animal reproduction and health as related to the soilplant system.IAEA. sponsored, Viena, 2-6 Feb. 1976. Australia.

Keltenbach, C. C. and Dunn, T. G. 1980. Endoctrinology of reproduction in Hafez, E. S. E. ed. Reproduction in farm animals 4 Ed. Lea & febiger. Philadelphia. Hp.85.

Maryati. 1985 Penuntun Tingkat kadar Hormone Progesteron teron dalam Darah dan Susu pada Ternak Kambing dan Sapi. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Batan. Jakarta.

Mc. Donald, L. E. 1980. Veterinary Endocrinology and reproduction. Third Edition. Lea & Febiger. Philadelphi.

Murti, T.W.2002. Ilmu ternak Kerbau. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan Edisi ke-3. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Putro,p.p.(1991).Sinkronisasi Berahi pada kebau: Aktivitas Ovarium dan Profil Progesteron Darah.

Ravindrad, G., and v Ravindrand.1988. Changes in the nutritional compocition of the casava (menihot esculenta crantz) leaves during maturitity. Food Chemisty,27 : 299 - 309

Roger, D.J., M. Milner. 1963. Amino acid profile of maniac leaf protein in relation to nutritive value. Economic Botny, 17, 211 - 216

Soni, B.K. 1986. Buffalo research and Development priorities for Small Farm in Asia. Proceeding of the Buffalo Seminar, April 29-May 1985, Bangkok Thailand. Internasional Bufflo Information Centre.

Stell, R.G. and R.G.D and J.H. Ttorrie. 1991. Prinsip dan prosedur Statistika suatu pendekatan biometric. Penerbit PT. Gramedia pustaka utama. Jakarta.

Soresen. A. M. 1979. Animals production principles and practices. Nc Gra Hill Book Company. New York

Soewondo. 1985. Dasar-dasar Isotop dan Radiasi dalam Biolog. Insttut Pertanian Bogor

Toelihere, M. R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Technical Reports Series No. 233. Laboratory Training Manual on Radioimmunoassay in Animal Reproduction. Internasional Atomic Energy Agensy. Vienna

Wanapat, M. and S. Khampa. 2006. Effect of cassava hay in high-quality feed block as anthelmintics in steers grazing on ruzi grass. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19:695-698.

Watemann, R. D.; Hafs, H. D.; Edgerton, L. A. And Swanson, L.V. 1972. Estradiol and progesteron in blood serum during the bovi

1 komentar: